Pemerintah hanya mengizinkan impor hortikultura atau buah dan sayur melalui empat pintu masuk. langkah ini diambil untuk membendung derasnya arus buah dan sayur impor yang masuk pasar Indonesia. Namun, tetap saja petani buah dan sayur di dalam negeri merana karena gempuran produk hortikultura asing.
Ini terlihat dari banyaknya petani hortikultura yang alih profesi karena hasil produksinya tidak mampu bersaing dengan produk hortikultura impor. Akibatnya, jumlah rumah tangga petani pun mengalami penurunan.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 2003 jumlah rumah tangga petani masih sebesar 31,23 juta. Tahun ini menjadi hanya 26,14 juta. Dilihat dari sisi usianya, petani berusia di atas 54 tahun lebih banyak atau mencapai 8,56 juta atau sekitar 32,76 persen.
Penurunan jumlah rumah tangga petani juga terjadi pada petani buah dan sayur. Khusus petani sayur dan buah, ada lebih dari 6 juta yang beralih profesi, dari 16,71 juta di 2003 menjadi hanya 10,6 juta rumah tangga di tahun 2003.
“Produk hortikultura kita itu kalah harga dengan produk dari luar. Barang tidak laku, akhirnya berpindah,” ujar Deputi Bagian statistik produksi BPS, Adi Lukmasono di Kantor BPS, Jakarta, Senin (2/12).
Menurutnya, produk hortikultura lokal tidak hanya kalah bersaing dari sisi harga tapi juga secara kualitas. Diakuinya, kualitas buah dan sayur luar negeri lebih bagus dan harga lebih murah. Jadi masyarakat lebih memilih membeli produk buah dan sayur impor.
“Akibatnya jadi impor itu, kalau mau melindungi petani ada semacam kebijakan misal pembatasan impor sehingga petani ada keinginan untuk peningkatan di sektor hortikultura,” jelasnya.
Adi menambahkan, untuk rumah tangga usaha kehutanan juga mengalami penurunan 6,83 juta menjadi 6,78 juta. Namun, tetap ada rumah tangga pertanian yang mengalami kenaikan.
“Untuk subsektor budidaya ikan mengalami peningkatan dari 0.99 juta menjadi 1,19 juta karena tingkat kebutuhan dari dalam negeri tinggi, misalnya restoran,” jelasnya.