Setiap tahun Indonesia mesti mengimpor bioavtur bahan bakar avtur berbasiskan biofuel untuk penuhi keperluan maskapai nasional.
“Suplai bioavtur saat ini masih 100 % impor, dengan nilai mencapai Rp 1, 48 triliun per tahun. Keadaan ini begitu ironis lantaran bioavtur datang dari Singapura serta Malaysia, ” kata Kemal Prihatman Direktur Instansi Riset serta Pengembangan Kementerian Penelitian, Tehnologi, serta Pendidikan Tinggi, dalam satu diskusi di Jakarta, Senin 10/4/2017.
Menurut Kemal, Pertamina belum menghasilkan bioavtur lantaran cost produksinya yang lebih mahal 5 kali lipat dari pada biaya produksi avtur umum.
Stanley, Sekjen Asosiasi Produsen Biofuels Indonesiamengaku supply bioavtur masihlah dari impor lantaran Indonesia tidak ada pabrik bioavtur taraf komersial.
“Pabrik telah ada setahu saya miliki Wilmar di gresik. Namun belum tahu apakah telah siap di jual atau tak, ” tuturnya.
Kemal menjelaskan pemakaian bahan bakar nabati (BBN) untuk penuhi target penurunan emisi karbon Indonesia seperti yang tertuang dalam Ketentuan Presiden Nomor 61 Tahun 2011 mengenai Gagasan Tindakan Nasional Penurunan Emisi Gas Tempat tinggal Kaca serta ratifikasi Kesepakatan Paris (Paris Agreement) bersama UU Nomor 16 Tahun 2016.
Di bidang transportasi hawa, keharusan pencampuran avtur yang memiliki kandungan bahan bakar nabati mencapai 2 % telah diaplikasikan mulai sejak 2016 seperti dalam Ketentuan Menteri ESDM.
Ketua Ikatan Ahli Bioenergi Indonesia Tatang Hernas Soerawidjaja menerangkan pembuatan bioavtur diperkembang tehnologi dekarboksilasi berbahan sabun logam atau dari bermacam type kelapa.